Jawaban UAS Mata Kuliah Pemikiran Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari prodi Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Agama Islam.
1. Sikap “Pantang Pulang Sebelum Menang” Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari.
Penyerbuan yang dilakukan oleh penjajah Belanda membuat isi Pesantren Tebuireng mengalami kerusakan yang parah. K.H. Hasyim Asy’ari lalu mengumpulkan para santri, guru, dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar di halaman pondok memperlihatkan apa yang telah terjadi akibat ulah tentara penjajah Belanda. Mereka semua merasa sedih.
Tetapi hal itu tidak membuat KH. Hasyim Asy’ari putus asa, Kesempatan yang baik itu beliau gunakan untuk menyampaikan pidato dan pesan supaya mereka tetap sabar. Pesan beliau:‘’Peristiwa ini jangan sampai menghancurkan cita-cita dan menurunkan semangat kita’’.
Pesan singkat beliau didengar oleh mereka. Peristiwa pahit itu mereka jadikan pendorong untuk menguatkan tekad dan semangat berjuang membela bangsa dan agama.
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari mengirim utusan ke berbagai kota dan pulau di seluruh Indonesia. Umat Islam menyambutnya dengan senang hati. Berbondong-bondong mereka datang memenuhi utusan tersebut untuk memberikan dukungan. Bantuan berupa harta benda datang dari berbagai penjuru wilayah. Banyak pemuda datang. Dengan sukarela mereka bersedia menjaga keberadaan pesantren Tebu Ireng, dan melindungi keselamatan nyawa KH. Hasyim Asy’ari dari setiap ancaman dari penjajah Belanda.
Bagi umat Islam, bencana tersebut bukan hanya diderita oleh KH. Hasyim Asy’ari dan para santri Tebu Ireng saja, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap seluruh umat Islam di Indonesia.
Hanya dalam waktu selama 8 bulan semenjak peristiwa pahit tersebut , bangunan pesantren dan madrasah-madrasah sudah bisa berdiri kembali dengan bentuk yang lebih besar, lebih kuat dan lebih luas, Peristiwa pahit tersebut termasuk satu dari banyak peristiwa yang semakin membuat pesantren TebuIreng menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat luas, dan menempatkannya dalam kedudukan cukup terhormat dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bersamaan dengan itu santri-santripun berdatangan dari segala penjuru wilayah Indonesia ke pesantren Tebuireng untuk menuntut ilmu agama.
2. Sikap Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dalam menghadapi persoalan-persoalan.
Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang dikenal sabar, tenang, terbuka, dan tegas dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada. Seperti persoalan saat penjajah menyerbu dan memporak-porandakan isi pesantren, Mbah Hasyim memberikan sambutan atau menyerukan kepada masyarakat untuk tetap sabar dan tabah dalam meneruskan usaha-usaha perjuangan, jangan sampai putus asa dengan cita-cita kita. Dalam keadaan yang seperti itu, Mbah Hasyim terlihat sangat sabar dan tenang. Beliau mempunyai cara tersendiri untuk melawan para penjajah. Dan juga saat beliau ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara karena berbagai tuduhan dari para penjajah. Saat dipenjara beliau disiksa oleh penjajah apalagi saat beliau menolak untuk melakukan sekerei yang menurut beliau perbuatan itu melenceng dari syariat Islam. Beliau mengalami berbagai penyiksaan yang sangat menyedihkan, namun beliau tetap sabar dan selalu berzikir kepada Allah. Beliau tidak memberontak kepada para Penjajah.
Dalam berdakwah dengan orang yang berbeda pendapat atau aliran dengan beliau, beliau melarang untuk bertindak keras dan kasar. Tapi harus dengan cara yang lembut, bersifat terbuka dan toleran.Terlihat beliau sangat tenang dalam menghadapi perbedaan pandangan yang ada di Indonesia, tidak fanatic atau membanggakan pandangan beliau sendiri dan tidak menjelekkan sesuatu yang tidak sependapat dengan beliau. Namun beliau menegaskan agar kita yakin terhadap kebenaran mazhab yang kita ikuti.
Mbah Hasyim lebih mengedepankan etika dalam menyebarkan Islam kepada masyarakat non-muslim. Hal ini membuat banyak masyarakat non-muslim yang akhirnya masuk Islam.
Mbah Hasyim sangat tegas dalam menyikapi masyarakat yang fanatik terhadap alirannya dan buta kepada satu mazhab karena hal ini dapat membuat pertengkaran antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
3. Manaqib Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari
Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama Indonesia yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil beliau di didik di lingkungan pesantren bersama keluarganya yang juga cinta terhadap ilmu. Ketika beliau menginjak usia remaja, beliau mulai menjelajahi berbagai pesantren dan juga mendalami berbagai ilmu-ilmu agama. Mekkah dan Madinah pun pernah beliau singgahi untuk mendalami ilmu agama. Beliau juga salah satu ulama yang menuangkan keilmuannya di dalam berbagai karangan yang monumental. Beliau banyak mengarang kitab, antara lain:
1. Adab al-Alim wa al-Muta’allim
2. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
3. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbat Sayyid al-Mursalin
4. Dhaw’ al-Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah\
5. Al-Risalah al-Tauhidiyyah
Walaupun beliau cerdas dan memilki pemikiran yang brilian, beliau selalu mengedepankan etika saat menuntut ilmu. Dalam kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’allim fi Ahwal Ta’allum wama Yataqaff al Muta’allim fi Maqamat Ta’limih. Beliau menekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Pandangan beliau tentang ilmu sebagai suatu yang sangat penting juga tercermin dari ucapannya sepulang ke tanah air dari menuntut ilmu di Mekkah :
ﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻲ ﺃﻣﺔ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﺟﻬﻼﺀ , ﻭ ﻻ ﺗﺼﻠﺢ ﺃﻣﺔ ﺍﻻ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ
“ sama sekali bukan sesuatu yang baik jika anak bangsa berada dalam kedohohan, dan suatu bangsa tidak akan baik tanpa ilmu pengetahuan”.
Beliau juga di kenal sebagai ulama yang bersikap terbuka, toleran dan fleksibel.
Terlihat saat menghadapi berbagai perbedaan mazhab/pandangan. Beliau tidak membenarkan sepenuhnya pandangan yang beliau yakini dan menyalahkan pandangan lain. Akan tetapi, beliau menegaskan agar kita tidak fanatic terhadap pandangan kita sendiri.
Terlihat pula saat adanya perubahan sistem pembelajaran di Pesantren Tebuireng yang dulunya hanya menerapkan ilmu pengetahun agama. Atas usul K.H. Wahid Hasyim untuk menambah pelajaran-pelajaran ilmu pengetahuan umum, Mbah Hasyim menyetujuinya. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan santri dalam mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau tidak kaku dalam menyikapi persoalan ini. Terlihat juga pada salah satu kitab beliau yang berisi polemic antara kiai Hasyim dengan kiai Abdullah bin Yasin Pasuruan adalah kitab Ziyadat al-Taqliqat Manzumat al-Syaikh ‘Abd Allah bin Yasin al-Fasuruwani. Kitab ini membahas tentang beberapa hal yang berkembang pada masa lalu. Isi utamanya adalah menjawab kritik kiai Abdullah soal hukum wanita muslimah belajar baca tulis latin. Meski satu sisi menyerupai dengan wanita Eropa, tapi kemampuan baca tulis latin ini terkait ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dan diperintah agama. Islam mendorong umatnya maju dan mengusai ilmu dan teknologi. Sedangkan belajar baca tulis huruf latin adalah medianya, maka belajar baca tulis latin ini menjadi wajib hukumnya demi mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi wanita adalah calon ibu yang merupakan madrasah al-ula (sekolah pertama) bagi para anaknya kelak. Jika ibunya tidak mempunyai pegetahuan yang luas maka anaknya tidak akan terbentuk karakter sebagai anak yang cerdas. Ibu adalah seseorang yang berkewajiban mendidik anaknya sejak anaknya tumbuh dan berkembang. Karakter anak akan terbentuk sesuai didikan ibunya. Karena sejak kecil, anak tersebut selalu bersama ibunya. Oleh karena itu, seorang wanita harus mempersiapkan diri untuk dapat mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas yang kelak akan menjadi penerus bangsa.
Dan juga pandangan kiai Hasyim di dalam Ahlussunnah wal Jama’ah juga berpegang teguh pada kaidah fiqh yang berbunyi al muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdz ni al-jadid al-aslah yang artinya menjaga tradisi lama yang baik, sambil menerima tradisi baru lebih baik. Pandangan inilah yang membuat kiai Hasyim fleksibel terhadap suatu permasalahan yang ada, yang membuat dakwah kiai Hasyim diterima oleh masyarakat. Pandangan ini juga diterapkan dalam kelompok NU, sebab kelompok NU merupakan pandangan mayoritas kalangan muslim dari dulu hingga sekarang, selain sesuai dengan kultur masyarakat setempat, terutama kultur Jawa.